Telah terbit edisi terbaru Jurnal Ceteris Paribus Vol. 3 No. 2 (2024). Salah satu artikel menarik yang Tuan dan Puan bisa baca adalah “The Resurgence of New Malay Nationalism on social media post-GE14”, Penulis: Shahnon Mohamed Salleh (Universiti Teknologi MARA), Ismail Sualman (Universiti Teknologi MARA), Ada bisa baca di https://doi.org/10.25077/jcp.v3i2.34. Berikut versi populer artikel.

Pemilihan Umum ke-14 (GE14) di Malaysia membawa perubahan besar yang nggak terduga. Koalisi Barisan Nasional (BN), yang udah berkuasa selama lebih dari 60 tahun, akhirnya mengalami kekalahan pertamanya. Momen bersejarah ini nggak cuma mengejutkan secara politik, tapi juga memunculkan berbagai isu baru, khususnya di kalangan masyarakat Melayu. Salah satu isu yang mencuat adalah kegelisahan tentang identitas nasional. Media sosial, terutama Twitter, memainkan peran besar dalam menyebarkan sentimen nasionalisme Melayu baru. Yuk, kita bahas lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik layar media sosial ini!

Media Sosial: Penggerak Baru Nasionalisme

GE14 jadi titik balik yang signifikan dalam sejarah politik Malaysia. Kekalahan BN menimbulkan rasa tidak nyaman di kalangan sebagian besar masyarakat Melayu. Mereka merasa kehilangan kekuatan politik yang selama ini dianggap milik mereka. Tapi menariknya, di era digital ini, kegelisahan itu lebih banyak disalurkan melalui media sosial.

Foto oleh Pixabay: https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-close-up-ikon-ponsel-cerdas-267350/

Twitter jadi salah satu platform utama yang digunakan untuk membangun narasi nasionalisme baru. Banyak tweet yang mulai berbicara tentang pentingnya mempertahankan identitas Melayu dan agama Islam. Partai-partai politik berbasis Melayu, seperti UMNO dan PAS, bahkan mulai bersatu kembali dalam menghadapi isu-isu seperti ICERD (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) dan kematian petugas pemadam kebakaran, Adib Kassim, yang terjadi dalam kerusuhan di kuil Seafield. Isu-isu ini jadi pemicu utama kebangkitan semangat pro-Melayu di dunia maya.

Mengapa Ini Menarik?

Yang menarik dari fenomena ini adalah bagaimana media sosial benar-benar mempengaruhi opini publik. Sebelum ada media sosial, mungkin isu-isu seperti ini hanya terbatas pada percakapan di ruang-ruang tertutup atau di media konvensional. Tapi sekarang, satu tweet bisa langsung viral dan memobilisasi ribuan, bahkan jutaan orang, hanya dalam hitungan menit.

Bayangkan, melalui media sosial, berbagai kelompok nasionalis bisa dengan mudah menyebarkan pesan mereka. Ini tentu berbeda dengan masa-masa sebelumnya ketika mobilisasi massa butuh waktu dan strategi yang lebih kompleks. Dengan media sosial, narasi pro-Melayu semakin kuat dan cepat menyebar ke berbagai kalangan.

Teknologi yang Mengubah Lanskap Politik

Media sosial nggak cuma jadi alat komunikasi, tapi juga jadi mesin penggerak perubahan politik. Di Malaysia, pasca-GE14, kita melihat bagaimana media sosial berperan penting dalam membentuk ulang lanskap politik dan budaya. Dari protes besar-besaran anti-ICERD hingga kampanye #BuyMuslimFirst, semua gerakan ini menggunakan media sosial sebagai alat untuk menggerakkan massa.

Hal ini menunjukkan bahwa teknologi punya kekuatan besar untuk mengubah persepsi dan pandangan masyarakat terhadap politik. Sentimen keagamaan dan identitas nasional jadi lebih mudah dibentuk dan disebarkan melalui platform seperti Twitter. Ini adalah contoh nyata bagaimana media sosial bisa jadi alat yang sangat efektif untuk membangun opini publik, terutama terkait isu-isu sensitif seperti agama dan identitas etnis.

Apa yang Bisa Dipelajari dari Fenomena Ini?

Buat kamu yang tertarik pada politik atau isu sosial, fenomena ini tentu sangat menarik untuk dipelajari. Media sosial, khususnya di Malaysia, bukan cuma tempat buat berbagi konten hiburan atau curhat tentang keseharian. Di balik itu semua, ada dinamika politik yang sangat intens yang terjadi. Orang-orang yang mungkin tadinya nggak terlalu peduli dengan politik, sekarang bisa dengan mudah ikut dalam diskusi-diskusi besar tentang identitas nasional dan agama.

Artikel ini juga menunjukkan bagaimana media sosial bisa digunakan untuk mengeksploitasi isu-isu sosial dan politik. Narasi yang dibangun di sana sering kali lebih dari sekadar opini pribadi, tapi bisa menjadi alat untuk mempengaruhi opini publik dan bahkan membentuk kembali identitas nasional suatu kelompok.

Kesimpulan

Dari pembahasan ini, kita bisa melihat bagaimana media sosial memainkan peran penting dalam kebangkitan nasionalisme Melayu pasca-GE14. Twitter, khususnya, menjadi medan pertempuran baru bagi berbagai kelompok untuk menyuarakan pandangan mereka tentang politik, agama, dan identitas nasional. Fenomena ini menunjukkan bahwa teknologi benar-benar bisa mengubah cara kita berinteraksi dengan isu-isu politik dan sosial.

Namun, di balik semua itu, kita juga harus berhati-hati. Media sosial bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, dia memberi kita kekuatan untuk bersuara. Tapi di sisi lain, dia juga bisa dengan mudah memanipulasi dan membentuk opini yang salah. Maka dari itu, penting buat kita untuk selalu kritis dalam menerima informasi yang ada di media sosial.

Pada akhirnya, kebangkitan nasionalisme Melayu melalui media sosial ini adalah fenomena yang menarik dan patut dipelajari lebih lanjut. Apa yang terjadi di Malaysia pasca-GE14 mungkin juga bisa menjadi pelajaran bagi negara-negara lain yang sedang berjuang dengan isu-isu identitas nasional di era digital ini.

How to Cite
Mohamed Salleh, S., & Sualman, I. (2024). The Resurgence of New Malay Nationalism on social media post-GE14. Jurnal Ceteris Paribus, 3(2), 31–50. https://doi.org/10.25077/jcp.v3i2.34.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *